Minggu, 09 Januari 2011

seni gambar

BERNETT Newman, salah satu seniman papan atas Amerika, pernah berujar manusia yang pertama menjadi seniman adalah pada saat dia menorehkan sebuah garis di atas permukaan tanah menggunakan sebilah kayu. Torehan garis tersebut bisa dianggap sebagai gambar pertama. Gambar tampaknya selalu menyertai perjalanan peradaban dan kebudayaan manusia. Karena itu, tak mengherankan jika gambar menjadi wilayah sangat penting dan tak dapat dipisahkan dari dunia seni dan seniman. Sebetulnya “menggambar”, seperti corat-coret, membuat sketsa, membuat bagan dan sebagainya merupakan salah satu cara seniman (dan para perancang) dalam menvisualisasikan gagasan yang ada dalam kepalanya. Karena itu menggambar sesungguhnya juga merupakan upaya pengkongkretan imajinasi, gagasan seniman. Tentu saja setiap bentuk karya seni sesugguhnya merupakan bentuk pengkongkretan gagasan sang seniman, namun gambar menduduki posisi istimewa sebab dalam prosesnya merupakan visualisasi konkret yang paling awal, spontan dan langsung. Hal itu diutarakan dengan gamblang oleh G. Sidharta Soegijo: “Salah satu cara yang paling langsung untuk menghubungkan proses berpikir, yang berlangsung secara abstrak, dengan bentuk visual, yang konkret, adalah melalui gambar.”
Dalam nada yang sama, Kate Macfarlane dan Katharina Stout berujar: “It is to drawing that many artists turn when they are not sure how to proceed with a particular line of enquiry, or how to realise an ambitious proposal. As Avis Newman suggests, drawing offers the most direct access to the intimate workings of the artist’s mind: ‘I have always understood drawing to be, in essence, the materialisation of a continually mutable process, the movements, rhythms, and partially comprehended ruminations of the mind: the operations of thought. For this reason alone, drawing will always be at the heart of the visual arts‘.”
Gambar menjadi bagian penting dalam perjalanan seni rupa Barat sejak masa Renesans sampai pada masa modern. Akademi seni di Eropa sejak abad 16 sampai abad 19 menekankan pentingnya gambar sebagai tulang punggung seni lukis dan seni patung. Apa yang dikenal sebagai akademisme, tak lain adalah formulasi dan pendekatan seni rupa yang menekankan pentingnya kemampuan menggambar bagi seorang seniman. Hal itu bisa kita lihat dari peninggalan gambar-gambar para pelukis-pelukis terkenal Eropa sejak masa Renesans sampai era seni rupa modern. Karena itu, sungguh mengherankan bahwa gambar—atau lebih tepat seni gambar—menjadi kategori seni yang otonom baru beberapa tahun belakangan ini.
Agaknya, fungsi gambar sebagai preparatory—kerja persiapan untuk menghasilkan lukisan—menjadikan gambar tenggelam di bawah medium atau kategori seni yang disokongnya, yaitu seni lukis, seni patung dan seni grafis. Menjadi perangkat preparatory menjadikan gambar dibutuhkan, namun sekaligus diletakkan bukan sebagai tujuan akhir. Kendati gambar, atau kemampuan menggambar merupakan hal penting dalam seni lukis dan seni patung, namun hal itu lebih bertautan dengan proses penyiapan dalam eksekusi lukisan. Tentu saja yang dianggap lebih penting adalah hasil akhir atau tujuan akhir, yaitu lukisan atau patung. Tujuan akhir merupakan supremasi, dan dalam tradisi fine art apa yang menjadi akhir adalah yang utama, seperti dijelaskan oleh Mortimer J. Adler: “These are the arts that later came to be called the fine arts, when the word ‘fine’ is understood to mean ‘finis’ and to signify that the works produced by these arts were things to be enjoyed for their own sake, not to be used as means to further ends.”
Sejak masa Renesans ketrampilan menggambar menjadi bagian penting dalam melukis. Sejak masa Renesans pula seni lukis menjadi kategori seni tinggi (high art) yang otonom. Maka tak mengherankan di era seni rupa modern, lukisan merupakan kategori seni yang paling penting. Ironisnya supremasi seni lukis dicapai melalui dukugan yang tak lekang dari gambar. Agaknya, karena terlalu lama menservis seni lukis dan patung menyebabkan status atau kedudukan gambar menjadi problematik, sebagaimana diutarakan oleh Emma Dexter, “Yet the medium’s status has always been problematic, due to its servitude to the arts of painting and sculpture, as well as its association with preparation and incompletion.”
Pelukis kenamaan Perancis Ingres pernah berujar mengenai pentingnya gambar untuk painting, “If I were to put a sign above my door, it would read School of Drawing, and I’m certain that I would produce painters.” Hal itu tampaknya berlaku secara universal. Bukankah hal itu pula yang telah dibuktikan oleh Balai Universitas Pendidikan Guru Gambar (dibuka tahun 1947) yang menjadi cikal bakal seni rupa ITB?
Untuk menjadi kategori seni yang otonom ternyata gambar masih membutuhkan perjalanan panjang. Seni rupa modern yang lebih mementingkan konsep, semakin menempatkan gambar—sebagai proses preparatory—semakin tidak penting. Dari masa Renesans sampai akhir abad 19 virtuositas menggambar sepertinya menjadi keharusan bagi seniman agar dapat menghasilkan karya lukis dan patung yang berkualitas. Sebaliknya seniman modern justru mencurigai hal-hal yang berkait dengan aspek ketrampilan, termasuk ketrampilan menggambar. Deanna Petherbridge, seorang prefesor dalam bidang gambar menjelaskan situasi diametrikal antara masa klasik dengan kepercayaan pada pendekatan akademik melawan masa modern yang mendestruksi pendekatan akademik, “The practice of art in this century has been no less closely tied to education than it has in other times. Eighteenth-century neoclassicism, for example, is as closely allied with the spread of the academies. As modernism has been with the destruction of the academic system. The academy, as we all know, was posited on the teaching of life gambar, in fact learning art in the West since Renaissance has been entirely to do with question of disegno—as both drawing and composisitional design.”
Maka tak mengherankan jika bagi para seniman modernis, gambar, khususnya dalam pendekatan akademis menjadi wilayah yang tidak penting. Tentu saja seniman modern tetap membutuhkan visualisasi bagi gagasan dan pemikirannya, namun hal tersebut tak harus diterapkan melalui ketrampilan gambar yang canggih. Gambar atau sketsa yang dihasilkan oleh para seniman modern, konseptual dan avant garde tidak menunjukkan virtuositas gambar seperti para seniman di abad-abad sebelumnya. Formalisme dan pencarian esensi seni lukis telah menggeser pentingnya gambar sebagai proses preparatory untuk melukis. Karena itu segi ketrampilan menggambar ala akademisme (kemampuan gambar anatomis) makin hilang dan tidak penting di masa-masa seni rupa modern dan era neo avant-garde, yaitu masa-masa transisi dari seni rupa modern menuju seni rupa kontemporer.
Demikian pula, di masa-masa tersebut akademi seni rupa di Barat memandang pembekalan ketrampilan, termasuk gambar semakin tidak relevan, dan mengurangi secara drastis mata kuliah menggambar. Hal yang dikenal dengan sebutan de-skilling ini berkaitan (catatan dari subject of art) dengan arahan dan prioritas utama pada segi konsep. Proses menuju de-skilling ini agaknya sesuai dengan paradigma seni rupa modern, dan dalam beberapa hal kemudian juga ditunjukkan oleh seni rupa kontemporer—khususnya dalam karya-karya yang bersifat transgresif. Kendati kemudian juga terbukti bahwa seni rupa kontemporer menunjukkan pula karakter yang berlawanan dengan kecenderungan de-skilling, yaitu munculnya kembali (revival) kebutuhan terhadap skill atau ketrampilan.